Ketika Tuhan Menghancurkan Mimpiku Dua Kali

Oleh: Ian Tan
(artikel asli dalam bahasa Inggris: When God Crushed My Dreams, Not Once But Twice)

Dibesarkan dalam keluarga militer, aku bercita-cita untuk menjadi tentara, meneruskan jejak ayah dan paman-pamanku. Di negaraku, Singapura, setiap pria dewasa yang sehat jasmani harus menjalani wajib militer selama dua tahun.

Aku tak pernah bisa lupa hari pertama menjalani wajib militer. Sementara teman-temanku merasa sengsara dan tersiksa kehilangan kebebasan mereka, aku justru merasa sangat bersemangat. Hari itu adalah awal petualangan untuk mewujudkan cita-cita masa kecilku. Lebih hebat lagi, aku masuk dalam daftar pasukan khusus, sebuah kehormatan yang tidak diperoleh oleh sembarang orang. Di barak tentara malam itu, sembari memandang keluar jendela, aku memanjatkan doa syukur, “Tuhan, terima kasih untuk kesempatan yang hebat ini, tolong aku untuk menjalaninya dengan baik, dan lindungi aku dalam pelatihan ini. Amin.

Tiga bulan pertama menjalani pelatihan dasar militer adalah masa-masa yang berat, namun hatiku merasa puas. Melewati berbagai hal bersama setiap hari, persahabatan dengan rekan-rekan satu tim terjalin dengan cepat dan erat. Aku terus mengalami hal-hal yang menyenangkan, apalagi ketika kemudian aku meraih penghargaan sebagai lulusan terbaik dalam latihan fisik. Luar biasa rasanya. Prestasi itu menjadi salah satu momen terbaik dalam hidupku. Aku bersyukur atas berkat Tuhan. Aku makin yakin bahwa inilah karir yang dikehendaki Tuhan untukku. Pada tahap berikutnya yang meliputi latihan terjun payung, aku juga berhasil memenuhi semua persyaratan untuk masuk dalam pasukan khusus terjun payung.

Namun, segala sesuatu berubah dengan cepat. Pada suatu sore yang cerah, kami diminta untuk bergerak menuju pangkalan udara untuk melakukan latihan rutin terjun payung. Seperti biasa, dalam perjalanan ke sana, aku menghafalkan ulang semua prosedur yang harus dilakukan, dan perlengkapan yang harus diperiksa. Aku melompat keluar pesawat dengan penuh semangat. Tanpa diduga, menjelang saat mendarat, arah angin mendadak berubah. Akibatnya, pendaratanku tidak sempurna, dan kakiku patah. Dalam sekejap, awal perjalananku yang tampaknya begitu cemerlang kini hancur berantakan. Karir militerku seketika itu juga berakhir, dan aku harus mengalami masa pemulihan yang sangat lama. Tak ayal, aku pun mengalami depresi berat.

Pada masa-masa yang berat itu, seorang teman baik mendorongku untuk mencari kesibukan baru. Dengan begitu, mungkin aku bisa melupakan mimpiku yang telah hancur berkeping-keping. Aku tidak tahu harus bagaimana, rasanya tidak ada lagi yang layak diperjuangkan. Mengapa Tuhan mengizinkan aku mengalami momen-momen yang hebat, membiarkan aku meraih prestasi, lalu mengambil kembali semuanya? Rasanya seperti orang yang kalah perang, ditertawakan banyak orang. Teman baikku itu mengusulkan, bagaimana kalau aku mencoba melamar sebagai seorang guru olahraga. Aku menertawakan ide itu. Saat menjadi siswa dulu aku selalu menyusahkan guruku, dan aku tidak pernah ingin mengalami hal serupa.

Beberapa bulan berlalu, dan aku mulai merasa gelisah. Setiap hari yang berlalu membuatku makin merasa perlu melakukan sesuatu. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba saran temanku. Aku mengajukan lamaran sebagai seorang guru pengganti di sebuah sekolah dasar, dan akhirnya diterima untuk mengajar selama setahun (guru yang kugantikan saat itu sedang cuti melahirkan). Bukan sebuah profesi yang membuatku sangat bersemangat, tetapi aku menghibur diri sendiri agar tetap bersikap positif dan terbuka untuk belajar.

Setelah dua bulan mengajar kelas pertamaku, aku menemukan diriku ternyata jatuh cinta dengan pekerjaan baruku ini, juga dengan murid-muridku. Mengajar dan berinteraksi dengan para siswa menolongku mengatasi depresi. Aku menemukan kembali tujuan dan arah dalam hidupku. Setelah kondisiku pulih total, aku diminta untuk mengajar olahraga di sekolah itu. Pada saat yang sama, aku juga mulai mengambil kuliah pascasarjana dalam ilmu-ilmu olahraga. Targetku kini adalah meraih gelar pascasarjana dan mendaftar ke Departemen Pendidikan sebagai seorang guru olahraga yang diakui pemerintah. Inilah rencana Tuhan untukku, aku berkata pada diri sendiri. Aku berdoa mohon Tuhan sendiri yang menuntunku dan memberiku kesempatan untuk membangun hubungan yang baik dengan para siswa dan rekan guru. Selama empat tahun berikutnya, semua berjalan lancar, jauh lebih baik dari apa yang aku pikirkan, dan aku menikmati apa yang aku lakukan. Rekan-rekan kerja dan anggota keluarga terus meneguhkan keputusanku dan memuji semangatku.

Lulus kuliah, aku mengajukan aplikasi kepada Departemen Pendidikan untuk mendapatkan pelatihan dan penempatan sebagai guru. Di luar dugaan, aku harus kembali menelan kekecewaan. Departemen Pendidikan menolak aplikasiku. Tidak ada kata-kata yang bisa dengan tepat mengungkapkan rasa kecewa dan frustrasi yang kualami. Awal yang baru sudah begitu dekat di depan mataku, namun aku tidak bisa meraihnya. Aku merasa Tuhan sangat tidak adil, menutup pintu kesempatanku, tidak hanya sekali, tetapi dua kali! Sekali lagi, semua peneguhan yang selama ini aku terima terasa seperti omong kosong belaka.

Beberapa tahun telah berlalu sejak kegagalanku yang kedua itu. Betapa aku berharap bisa memberi kesaksian bagaimana Tuhan menganugerahkanku salah satu dari mimpi-mimpi yang aku miliki. Sayangnya kenyataan berkata lain. Aku belajar untuk menerima bahwa Tuhan memiliki rencana yang lain untuk hidupku. Melalui kedua masa yang sangat sulit dalam hidupku itu, Tuhan mengajarku untuk merendahkan diri di hadapan-Nya, dan menolongku melihat betapa jalan-jalan-Nya selalu lebih tinggi daripada jalan-jalanku sendiri (Yesaya 55:8-9). Tuhan tidak membiarkan aku mengandalkan diri sendiri dalam merencanakan hidupku. Sebaliknya, Tuhan menunjukkan bahwa Dialah yang sesungguhnya memegang kendali, dan tidak ada yang dapat kulakukan di luar Dia.

Jika kamu mengetahui apa yang kukerjakan sekarang, kamu pasti berpikir bahwa ini bukan pekerjaan yang tepat untukku. Tidak seperti pengalamanku yang sudah-sudah, aku tidak menganggap diriku hebat dalam peran yang kini aku jalankan. Namun, dalam kelemahanku, aku bisa mengingat bagaimana anugerah Tuhan itu selalu cukup dalam masa-masa yang tidak pasti dan membuat putus harap. Kuasa Allah paling jelas dinyatakan melalui kelemahanku, seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam 2 Korintus 12:10: “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Melalui semua yang kualami, Tuhan terus menggendongku, dan dengan setia menolongku agar dapat hidup untuk kemuliaan-Nya.

Sumber: warungsatekamu.org

Tidak ada seorangpun dalam hidup ini yang menyukai masalah. Tetapi masalah tidak bisa kita hindari. Saat ini kami mengajak kamu untuk coba merenungkan bagaimana cara kita bisa keluar dari masalah itu . Ternyata jawabannya cuma satu. Apapun masalahnya, jawabannya ada pada Injil.

Kenapa Injil? Injil itu adalah kasih Tuhan kepada manusia. Injil disini bukan dalam konteks agama tapi kasih Tuhan kepada manusia. Siapapun orangnya,dalam hati kecilnya percaya bahwa ada Tuhan yang menjadikan semuanya.

Untuk itu saat ini kalau kamu sedang menghadapi sesuatu dalam hidup percayalah dan datanglah kepada Injil itu yang adalah Yesus Kristus Tuhan.

Dalam dunia ini tidak ada siapapun kecuali Yesus Kristus Tuhan yang pernah berkata Akulah Jalan, Akulah Kebenaran dan Akulah hidup. Semua manusia hidup kalau tidak menemui jalan berarti dia ketemu jalan buntu.Jadi bagaimanapun keadaanmu saat ini, datanglah kepada Yesus.

Untuk kalangan sendiri

Leave a Comment